Apa keterkaitan peristiwa 17 oktober 1952 dan peristiwa 27 juli 1955

Posted on

Apa keterkaitan peristiwa 17 oktober 1952 dan peristiwa 27 juli 1955

PERISTIWA 17 OKTOBER 1952

Pada tahun 1950-1952 , perasaan antipati yang telah tertanam pada kaum militer terhadap kaum sipil semakin bertambah besar. Militer tidak senang akan posisi kuat dan kekuasaan yang dipegang sipil, karena sebagian besar dari mereka hanya merupakan konsekuensi dari adanya Republik Iindonesia Serikat. Militer tidak senang dengan kepemimpinan sipil, juga terhadap pembagian otoritas konstitusional yang menguntungkan sipil. Perasaan militer inilah yang akan mempengaruhi hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal.

Selain itu kabinet Wilopo berusaha menggambil tidakan dalam bentuk penghematan yang sangat ketat. Oleh karena itu Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusumo melaksanakan penghematan anggaran belanja negara di segala bidang, termasuk pengurangan anggaran bagi militer. Dengan kebijaksanaan tersebut, maka angkatan perang dirasionalisasikan kembali yang pelaksanaannya dilaksanakan di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX.

Rencana pimpinan TNI untuk menjadikan Tentara Nasional Indonesia, menjadi tentara professional terus dilaksanakan. Apalagi setelah mendapat persetujuan pula dari Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX. Menurut Sultan, rasionalisasi dilaksanakan dalam bidang kemiliteran dalam rangka menjadikan militer Indonesia yang tadinya bersifat heterogen menjadi tentara yang punya satu komando sebagaimana lazimnya suatu tentara di negara modern.

Oleh karena mengingat keterbatasan dana yang diberikan pemerintah, maka sebagai konsekwensi yang harus dijalankan dengan adanya rasionalisasi dan reorganisasi adalah dengan dilaksanakan demobilisasi besar-besaran di tubuh angkatan perang.

Demobilisasi akan dilakukan secara berangsur-angsur pada akhir tahun 1953, yang akan mencapai jumlah 80.000 orang tentara dari 200.000 orang prajurit. Dari 80.000 orang prajurit tersebut, 40.000 orang akan dipensiunkan dan 40.000 orang tentara lainnya adalah mereka yang dianggap tidak layak karena tidak memenuhi syarat sebagai seorang prajurit baik fisiknya maupun kesehatannya.

Rencana profesionalisme itu menimbulkan keresahan dikalangan tentara yang berpendidkan rendah dan bekas tentara PETA. Salah satu dari bekas tentara PETA yang tidak senang dengan program ini adalah Kolonel Bambang Supeno, yang mengambil tindakan dengan mengirim surat kepada Presiden.

Kolonel Bambang Supeno adalah bekas opsir PETA dari Jawa Timur yang juga mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Soekarno. Kolonel Bambang Supeno pernah menjabat sebagai Komandan Candradimuka yang dibubarkan oleh Nasution. Saat Supeno tidak setuju dengan rencana profesionalisme Nasution, Supeno datang kepada Presiden dan menyatakan ketidaksetujuannya dan meminta agar Nasution diberhentikan. Supeno mendapat dukungan kuat dari para perwira bekas PETA dan juga dari Panglima Divisi Siliwangi yang tidak aktif lagi, yaitu Kolonel Bambang Sugeng dan Kepala Intel Angkatan Perang, Kolonel Z. Lubis.

Permasalahan Kolonel Bambang Supeno yang mendatangi berkali-kali Presiden meminta pemberhentian KSAD Nasution dianggap tindakan yang tidak tepat tidak menurut dengan hierarki militer, dan tiada menurut erecode perwira. Maka para perwira-perwira senior AD dan atas permintaan Kolonel Gatot Subroto, Panglima Tentara dan Teritorial (TT) VII diadakanlah rapat pada tanggal 12 Juli di rumah KSAP T.B. Simatupang. Pada rapat tersebut para perwira senior AD menyatakan tindakan Bambang Supeno bertentangan dengan hierarki .