Apakah rencana amandemen ke 5 tersebut relevan dengan pemenuhan kesejahteraan masyarakat?
Setelah empat kali amendemen UUD 1945, terjadi pengelompokan sikap masyarakat. Satu kelompok menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli, kelompok lainnya menginginkan diadakan lagi perubahan atau amendemen kelima UUD 1945, dan kelompok terakhir tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.
Dalam konteks ini, saya mau mengangkat penelitian Valina Singka Subekti, mantan anggota KPU dan PAH I BP MPR, terhadap proses perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Hasil penelitian itu kemudian menjadi buku berjudul, Menyusun Konstitusi Transisi, Pergulatan Kepentingan, dan Pemikiran dalam Proses perubahan UUD 1945, yang terbit tahun 2008. Pada Bab 6 tentang Kesimpulan dan Implikasi Teoritis disebutkan, pertama, selama proses perubahan UUD 1945, peran elite fraksi di PAH BP MPR dan DPP partainya, besar. Kedua, warna aliran mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi. Ketiga, proses politik di MPR selama perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 diwarnai kompetisi, bargaining, dan kompromi. Keempat, perdebatan fraksi-fraksi di PAH BP MPR juga diwarnai kepentingan partai. Dengan demikian, berdasarkan penelitian itu, bisa dikatakan bahwa UUD 1945 pasca-amendemen, berisikan kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan.
Terkait dengan itu, saya ingin menambahkan beberapa faktor menyangkut kelemahan UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama, adanya kekaburan dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasal yang multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hukum dan politik.
Dalam hal ini, Komisi Konstitusi yang dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No 1/2002 dan Keputusan MPR No 4/2003 dengan tugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD NKRI Tahun 1945 oleh MPR, juga menyebutkan hal sama.
Setelah bertugas selama tujuh bulan dan menyerahkan hasil kerjanya, berupa Naskah Kajian Akademis Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 dan Naskah Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 kepada Ketua MPR Amien Rais pada 24 April 2003, Komisi Konstitusi menyatakan terdapat 31 butir kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan UUD 1945 pasca-amendemen.
Namun, sebelum menguraikan kekurangan dan ketidaksempurnaan UUD 1945, saya ingin terlebih dulu memberikan penghargaan dan acungan jempol terhadap kerja MPR yang mengadakan amendemen tersebut.
Pertama, MPR, dalam melakukan perubahan UUD 1945, telah berhasil mendesakralisasi UUD 1945, yang di masa Orde Baru dianggap sakral. Tindakan MPR itu merupakan pemutusan mata rantai kemandekan konstitusional menuju masyarakat demokratis dan terbuka.
Kedua, dengan ditetapkannya Pembukaan UUD 1945, bentuk Negara Kesatuan dan Republik, serta sistem pemerintahan Presidensiil, maka dapat ditafsirkan bahwa MPR melakukan penghormatan terhadap Pembukaan UUD 1945 yang merupakan luhur bangsa atau pacta sunt servanda. Hal ini menandakan bahwa kesepakatan masa lalu telah dipelihara dalam perubahan UUD 1945.
Ketiga, MPR berhasil mengubah tempat asal kedaulatan (locus of souvereignity) menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dan tidak lagi, berbunyi kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Juga MPR, sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan, yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, berfungsi pada saat anggota DPR dan DPD mengadakan sidang gabungan atau joint session.
Keempat, DPR, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, dalam suatu pemilihan umum.
Kelima, dibentuk Komisi Yudisial, yang independen, dengan fungsi memelihara kehormatan dan integritas hakim. Selain itu dibentuk pula Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga negara yang paling baru, dengan kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan perselisihan hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.