Contoh cerita fantasi yg menarik

Posted on

Contoh cerita fantasi yg menarik

Contohnya aladdin, cinderella

Salju Terakhir
Lengah pangkal celaka. Nasehat itu tak
mungkin kuabaikan. Mendengar
namanya saja segera membuat
kantukku menguap, dan begitu kulihat
tampangnya, kuyakin akan celaka
berlipat jika sampai lengah.
“Kau mampu menghianati Tuanmu,
apa jaminanmu tak membokongku?”
Lelaki lusuh yang bersimpuh di
hadapanku itu sedikit mendongak,
namun matanya tetap menatap kakiku.
Sepertinya ia ingin memamerkan raut
wajahnya. Mukanya yang tirus itu
menegang. “Hamba tak akan
menghianati Tuanku,” jawabnya.
Hampir saja aku tergelak menyaksikan
lagaknya—sungguh tidak meyakinkan.
Lelaki bernama asli Bujanglebun ini
punya gelar Cerpelai Merah. Ia bekas
pengawal Sutan Batuta—musuhku,
penguasa Lembah Lumbuan. Aku
sudah berulang kali bentrok dengannya
dan pada pertempuran terakhir kami
sepakat untuk tidak saling serang
hingga musim dingin berlalu.
“Antarkan pendekar ini keluar benteng.
Aku tak membutuhkannya.”
Amarukso, kepala pengawalku, segera
menggelandangnya.
###
Salju mulai turun ketika mentari senja
memerah. Menurutku ramalan Datuk
Mangku Rekata akan betul terjadi.
“Rasi Bintang Kala tampak redup,
Tuanku. Kemungkinan musim ini akan
membuat Pisang Selanga layu,”
ramalnya beberapa waktu lalu.
Pisang Selanga, trubus kebanggaan
negeriku tahan segala musim,
termasuk di musim dingin yang buruk.
Sudah berabad-abad demikian. Kalau
tumbuhan sekuat itu bisa layu, musim
dingin ini pastilah teramat buruk. Itulah
sebabnya kuterima gencatan Sutan
Batuta. Pastilah ia mendapat ramalan
yang sama dari datuknya.
Di atas benteng angin bersalju terasa
menusuk. Kualihkan pandangan ke
bawah, hamparan di sana mulai
memutih.
“Sudah berapa lama dia di sana?”
“Dia bergeming sejak kami keluarkan,
Tuanku,” jawab Amarukso.
“Cerpelai ini betul-betul naif,” pikirku.
Bujanglebun tampak berlutut beberapa
kaki dari gerbang. Tubuhnya teronggok
seperti bongkahan kayu. Aku tahu dia
punya tenaga dalam, namun berapa
lama ia mampu menantang alam? Ia
akan membiru saat mentari pagi
muncul.
“Awasi, jangan lengah!” perintahku.
###
Lengah pangkal celaka. Berapa banyak
lelaki kehilangan kepalanya gara-gara
wanita? Pikiran semacam itu
berkelebat ketika Puan Pikatan, selirku
yang paling jelita, mulai memberi usul.
“Tuanku tak perlu memercayai
penghianat itu. Cukup menggali
informasi. Kita tak rugi apa-apa,”
katanya sambil menuang arak.
Gerakannya sangat gemulai dan
suaranya begitu merdu.
Kuambil arak itu. Ketika menyesapnya
aku jadi berpikir Pikatan terlalu pintar
untuk hanya jadi seorang selir. Ia
bahkan terang-terangan menunjukkan
minatnya dalam bidang politik dan
siasat. Jelas saja istriku gusar. Namun
mungkin saja itu terjadi karena Kirana
terlambat memberiku putra. Putraku
baru setahun sementara Panji Wergala
—putra Pikatan—sudah enam tahun.
Yah, cukup lama sudah aku mencium
persaingan mereka, namun itu wajar
belaka. Hal yang tak mungkin
dielakkan.
“Julukannya Cerpelai Merah. Dan aku
tak ingin ada cerpelai atau rubah di
kastilku.”
Pikatan memohon ampun atas
kelancangannya. Tentu kumaafkan.
Tak mungkin ia berniat mencelakaiku.
Malamnya usul Pikatan terus
mengekorku. Sutan Batuta musuh
yang alot. Sepertinya ia tak akan
menyerah sebelum salah satu dari
kami binasa. Empat purnama lagi
pastilah ia akan kembali menyerang.
Sebelum itu, ia akan terus
menyempurnakan rencananya. Apakah
aku akan berdiam saja?
Cerpelai merah ini mungkin saja
petunjuk Hyang Tunggal,
kesempatanku untuk membuat tentram
hidupku dan wangsaku. Dari dua puluh
satu pemimpin wangsa negeri Antah
Buana ini, hanya Batuta-lah yang
memusuhiku. Ah, seandainya saja
kaisar masih punya kekuatan, tentulah
negeri ini akan tentram. Namun mimpi
seperti itu sudah ada sejak seratus
tahun lalu.
Ketika kembali ke ruanganku dan
membicarakan ide Pikatan dengan Puti
Kirana, istriku, ia tampak gusar.
“Seperti Tuanku mahfum, cerpelai suka
melompat ke sana sini. Saya kira tak
seharusnya kita ijinkan makhluk seperti
itu di sini. Dan orang yang melontarkan
ide itu, harus dipertanyakan
kecakapannya berpikir.”
Aku berdiri lalu berjalan ke arah
jendela. Salju masih turun, di luar pasti
udara sangat menusuk. Perkataan
Kirana sama belaka dengan yang
kupikirkan. Apakah pernyataannya
hanya untuk menyenangkanku?
Ataukah ide Pikatan memang buruk?
Wajahnya tampak sengit. Aku
mencium kecemburuan di sana.
Mungkinkah ia iri dengan ide itu?
###
Sutan Batuta tak mungkin menyerah
jika hanya didiamkan.
Sudah lewat tengah malam namun
pikiranku masih saja mengembara.
Karena tak bisa tidur, aku pergi ke
benteng.
Amarukso mengatakan Bujanglebun
tetap bergeming di dekat gerbang.
Orang ini jelas cari mati, pikirku.
“Bawa dia masuk. Beri makan dan
tempatkan di barak. Besok pagi
hadapkan ia,” perintahku. “Ingat,
jangan lengah!”
“Daulat, Tuanku. Hamba sendiri yang
akan mengawasi,” jawab Amarukso.
[#######]