Tulislah dasar hukum pelaksanaan shalat dalam kondisi tertentu yg diperbolehkan menurut ketentuan fiaih​

Posted on

Tulislah dasar hukum pelaksanaan shalat dalam kondisi tertentu yg diperbolehkan menurut ketentuan fiaih​

Jawaban:

Alquran menegaskan, Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS al-Baqarah [2]: 286). Apa pun jenis perintah Allah yang wajib dijalankan, tidaklah keluar dari batas kesanggupan si hamba untuk melaksanakannya. Bahkan, hukum wajib tersebut bisa gugur jika memang seorang mukallaf (manusia yang menjalankan kewajiban) tidak sanggup melaksanakannya.

Dalam fikih Islam ada istilah rukhsah yang dalam Bahasa Arab diartikan dengan keringanan atau kelonggaran. Dengan adanya rukhsah, manusia mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan. Ilmu ushul fikih menyebutkan, rukhsah bisa membolehkan atau memberikan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dariirat).

Rukhsah tidak disyariatkan karena sudah ada kepastian hukum sebelumnya yang disebut azimah (melakukan suatu perbuatan seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT). Misalnya, berpuasa pada bulan Ramadan wajib bagi mukallaf (azimah), tetapi bisa dibayar pada hari lain jika mukallaf sedang dalam perjalanan atau sakit. Inilah yang disebut rukhsah. Contoh lainnya, memakan bangkai hukumnya haram (azimah). Tetapi dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa atau untuk berobat (rukhsah).

Jadi, rukhsah bukan berarti meminta kepada Allah SWT agar tidak dibebankan sesuatu karena apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sudah merupakan ketentuan umum yang harus dilaksanakan.

Hukum rukhsah, yakni al-ibahah (dibolehkan) secara mutlak sekadar kebutuhan atau karena sebatas keterpaksaan saja. Jika sudah tidak dibutuhkan lagi atau tidak ada keterpaksaan lagi, perbuatan itu kembali pada hukumnya yang semula (azimah).

Misalnya, memakan bangkai menjadi haram kembali bagi yang bersangkutan jika tidak dalam keadaan terpaksa atau tidak untuk obat. Demikian juga, orang yang berpuasa pada Ramadan menjadi wajib kembali bagi yang tidak musafir atau orang sakit.

Dalam ilmu ushul fikih, disebutkan beberapa alasan yang membolehkan rukhsah. Misalkan, rukhsah bukan bertujuan untuk berlaku zalim, berbuat dosa, atau meringan-ringankan suatu hukum yang sudah ringan. Hal ini seperti ditegaskan dalam Alquran, "Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya." (QS al-Baqarah [2]: 173).

Demikian juga, bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dalam jarak dan kondisi yang ditentukan. Musafir diperbolehkan mengqashar (memendekkan) shalatnya hanya dalam kondisi tersebut. Firman Allah SWT, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu." (QS an-Nisaa’ [4]: 101).

Di samping shalat, perintah puasa juga mendapatkan rukhsah jika tidak mampu menjalankannya pada Ramadhan. Mukallaf bisa membayarkan puasa pada hari lain jika tak sanggup berpuasa pada Ramadhan karena alasan bagi musafir atau sakit. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Alasan dibolehkannya rukhsah lainnya bahwa rukhsah hanya sekadar menghilangkan kesulitan dan menghendaki keringanan sampai menemukan kelapangan sesudahnya. Dalam hal ini manusia boleh memilih apakah akan melakukan azimah (yang seharusnya) atau rukhsah (keringanannya).

Kendatipun demikian, pada dasarnya rukhsah itu dibolehkan hukumnya. Allah SWT berfirman, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS al-Hajj [22]: 78). Pada dasarnya, Allah menginginkan kemudahan dan tidak ingin hamba-Nya kesusahan. Firman Allah SWT, "Allah menghendaki kemudahan untukmu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS al-Baqarah [2]: 185).

Ada beberapa sebab yang membolehkan rukhsah. Pertama, karena terpaksa (ad-dariirat) atau karena suatu kebutuhan (al-hajat). Misalnya, dibolehkan bagi seorang mukmin mengucapkan kalimat "saya telah kafir" karena dipaksa, asalkan hatinya tetap beriman. Demikian juga, hukum bagi mukallaf yang dibolehkan berbuka puasa pada Ramadhan karena sakit atau dalam perjalanan.

#semogamembantu

Jawaban:

apabila masih bisa berdiri maka wajib untuk berdiri

apabila tidak bisa berdiri maka diperbolehkan untuk sholat sambil duduk

apabila duduk tak bisa maka diperbolehkan untuk tiduran dengan posisi telentang dan kepala menghadap Timur sedangkan kaki menghadap Barat ( kalo di indonesia) jadi seperti orang yang sedang sholat

apabila telanjang pun tak bisa maka ia mengisyaratkan sholatnya dengan kedua matanya

tapi apabila dengan kedua matanyapun tak bisa maka ia sholat dengan hatinya. insya allah itu dihitung sholat

Penjelasan:

maaf kalo salah