Seperti apa kebijakan mosalaki itu
Jawaban:
Mosalaki ialah simbol keberadaan adat dan budaya (kultur) secara tutun temurun di Lio dengan tugas bertanggung jawab atas segala ritual adat termasuk menguasai hak luayat.
secara harafiah,mosalaki berasal dari kata "Mosa" yang diartikan laki-laki dan "Laki" diartikan sebagai tuan.sehingga mosalaki dapat dimaknai sebagau orang yg memegang kekuasaan adat.
Penjelasan:
Raja pius rasi wangge ditugaskan menarik upeti (pajak) untuk pemerintah belanda.Raja Lio ini berkuasa sejak tahun 1941 hingga 1947.Kemudian beliau diberitakan wafat dikupang,ditembak mati oleh tentara belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah jepang
Jawaban:Suku Lio adalah suku tertua yang ada di pulau Flores, berada di desa Wolotolo kecamatan Ndona, Detusoko, Wolowaru, dan Mourole, kabupaten Ende provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah Kecamatan 204,65 Km2. Posisi kabupaten Ende dari letak geografisnya berada pada koordinat 8°26’24,71”LS – 8°54’25,46” LS dan 121°23’40,44” BT – 122°1’33,3” BT. Jumlah penduduk desa Wolotolo kurang lebih 535 jiwa.[1]
Dahulu diceritakan suku Lio adalah manusia pertama di wilayah Ende Lio turun dari gunung tertinggi yaitu gunung Lepembusu yang berada di kawasan pemukiman desa Wolotolo. Suku Lio di desa Wolotolo dipimpin oleh empat Mosa Laki (kepala suku) dan tujuh Kopo Kasa (wakil kepala suku). Kepala suku dan Kopo Kasa memegang peranannya masing-masing sesuai dengan tugas yang diamanatkan turun temurun dari nenek moyang sebelumnya. Keempat kepala suku bertempat tinggal di sao ria (rumah besar) masing-masing. Suku Lio di Desa Wolotolo memiliki berbagai macam elemen permukiman adat bangunan mulai dari sao ria (rumah besar), sao keda (tempat musyawarah), kanga (arena lingkaran), tubu musu (tugu batu), rate (kuburan) dan kebo ria (lumbung). Bangunan-bangunan adat suku Lio ini memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan fungsinya masing-masing [2]
Agama dan kepercayan
Bentuk rumah Sao Keda dan Kanga (area ritual) suku Lio
Suku Lio dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap wujud tertinggi yang disebut Du'a Ngga'e, Nitupa'i atamata atau babo mamo. Dalam konteks ini, Du'a Ngga'e berada pada titik puncak yang wajib disujud. Sementara Nitupa'i atamata wajib dihormati. Masyarakat suku Lio percaya adanya kekuatan adikodrati serta percaya bahwa roh-roh para leluhur dan roh-roh alam sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Budaya
Bangunan tradisional suku Lio antara lain adalah Sao Keda bangunan pertama sebagai cikal bakal terbentuk pemukiman, Sao Ria (rumah besar), Tupu Mbusu (batu lonjong), Sao Bhaku (rumah penyimpanan tulang belulang), Kuwu lewa (dapur umum), Rate (kuburan besar), Kebo ria (lumbung) dan Kanga adalah area ritual dalam menjalani seremonial adat suku Lio yaitu untuk melakukan persembahan terhadap Dua Ngae (Tuhan) dalam kepercayaan suku Lio. Bangunan Sao keda awalnya dahulu tempat peristirahatan masyarakat suku Lio saat pulang dari berburu dan bertani yang biasanya berada di dekat daerah pertanian tempat suku Lio bekerja sehari-hari.
Kelompok sosial yang sangat penting dalam suku Ende lio mewujudkan struktur piramidal, yang dipuncaknya duduk kepala suku yang secara turun temurun dijabat oleh anak laki-laki sulung. Ia berstatus dan bertindak sebagai orang tua (Ine Ame) dan disebut pula sebagai ahli waris (Teke Ria Fai Nggae). Warga suku Lio yang masih seketurunan dengan Laki Ine Ame dinamakan Aji Ana, artinya sama dengan adik dan anak. Selanjutnya warga yang tinggal dalam kampung itu, tetapi tidak ada hubungan kerabat dengan kepala suku tadi disebut Fai Walu. Warga semacam ini tidak mendapat warisan yang berasal dari nenek moyang suku, akan tetapi bila ia berjasa terhadap suku akan diberi imbalan tertentu.[3]
Upacara Adat
Ritual adat Ka po'o dilaksanakan oleh suku Lio yang bermatapencarian sebagai petani dan berladang, merupakan ritual adat dalam tata berladang yang dilaksanakan setiap tahun oleh para masyarakat yang berladang (fai walu ana halo) bersama-sama dengan pemangku adat (mosalaki) yang ditandai dengan upacara memasak nasi dalam bambu yang disebut Are po’o oleh para ibu hal ini diyakini bahwa keterlibatan para ibu memiliki makna bahwa perempuan adalah rahim kehidupan (bumi) sehingga diyakini mendatangkan kesuburan, kelimpahan panen serta rejeki dalam keluarga. Sedangkan laki-laki disimbolkan sebagai langit yang merawat, menjaga dan melindungi. Prinsip laki-laki dan perempuan dalam suku Lio diibaratkan seperti langit-bumi yang saling melengkapi satu sama lain. Ini juga bentuk kesetaraan gender dalam tatanan adat, Upacara Ka po’odiakhiri dengan makan bersama seluruh mosalaki dan penggarap ladang. Tujuan dilaksanakannya ritual adat untuk memberi makan kepada para leluhur, menolak hama penyakit (tola bala) sehingga lahan yang dibuka untuk berladang diberi kesuburan, keamanan dan hasil yang baik. Tak hanya sekadar ritual, tetapi upacara adat yang terus dilakukan secara turun temurun ini menjadi ajang kebersamaan dan pertemuan keluarga masyarakat adat.
Pantangan adat (pire). Setelah upacara Ka po'o, dilanjutkan dengan larangan adat (pire) selama dua hari. Pantangan bertujuan agar para penggarap mentaati wejangan mosalaki sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan tradisi para leluhur juga saat untuk menyiapkan segala peralatan berladang. Sanksi adat (poi) dari para mosalaki akan diberikan bagi yang melanggar pantangan.
Penjelasan: