Berikan cerita nyata akhir riwayat robert wolter monginsidi sang pahlawan nasional??
Jawaban:Kemarahan Belanda memuncak ketika Bote kembali lolos dari maut setelah menyerang dalam pertempuran 22 Januari 1947. Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda kian mengenali sosoknya.
Bahkan sekutu mengadakan hingga beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkap Bote. Pada 28 Februari 1947, Bote tertangkap dan dipenjarakan.
Selang delapan bulan setelahnya, pada 27 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Bote berhasil menyelundupkan dua buah granat yang dimasukan ke dalam roti. Granat pun diledakkan, sontak seisi kompleks penjara menjadi kacau-balau. Bote dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri melalui cerobong asap dapur.
Makin geram, Belanda tak henti mencari keberadaan Bote. Setelah setahun berselang, Bote yang tak mengira posisinya diketahui oleh Belanda terkepung di sebuah jalan sempit. Rupanya ada di antara kawannya yang berkhianat.
Saat terkepung oleh Belanda, sebenarnya Bote masih menyimpan sebuah granat yang bisa segera dia lemparkan ke musuh. Namun, gang tempatnya terkepung sangat dekat dengan rumah-rumah warga. Bote tak ingin ada yang menjadi korban ledakan granatnya. Dia akhirnya menyerah untuk keselamatan penduduk.
Dengan kasar, Belanda segera membelenggu kaki dan tangan Bote menggunakan rantai. Dia kemudian dikaitkan ke dinding tembok tahanan di Kiskampement Makassar. Pada saat itu, Belanda beberapa kali membujuk Bote agar mau bekerja sama, tapi dia selalu tegas menolak. Akhirnya, pada 26 Maret 1949, Bote divonis hukuman mati.
Hingga hukuman dijatuhkan, pihak Belanda beberapa kali menyarankan Bote untuk mengajukan grasi agar mendapatkan pengampunan dari vonis mati. Syaratnya, dia harus bersedia untuk bekerja sama. Bote tetap teguh dengan pendiriannya dia tidak mau menjadi pengkhianat.
“Minta grasi? Itu berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman. Salam pada teman-teman. Saya setia sampai mati!” ucap Bote dikutip dari Yusuf Bauti, Intisari, Maret 1975.
Menantikan saat-saat terakhir hidupnya dalam sel tahanan, Bote memanfaatkan waktunya untuk membaca ayat-ayat Alkitab. Selain itu, dia pun sempat menuliskan sejumlah catatan berisi pesan-pesan perjuangan. Isinya menuliskan bahwa dia pantang menyerah dan tak pernah takut maut demi harga diri dan bangsa.
“Saya telah relakan diri sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang. Saya percaya penuh bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa,”
“Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku. Rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia,”
Setidaknya itulah tulisan Bote dari dalam penjara. Ia menuliskannya di lembaran kertas dengan judul “Setia Hingga Terakhir dalam Keyakinan”.
Akhirnya, hari itu datang. Senin dini hari, 5 September 1949, Bote dibawa ke hadapan regu tembak. Mata dan hatinya terbuka untuk menghadapi eksekusi. Dia ingin menikmati saat-saat terakhirnya dengan kebanggaan.
Sesaat sebelum pelatuk senjata ditekan, dia berucap kepada para algojo di hadapannya, “Laksanakan tugas, saudara! Saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan. Saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara,” ucapnya.
Kemudian bersamaan dengan tiga kali pekikan merdeka, delapan peluru menembus raga sang pejuang. Empat peluru di dada kiri, satu di dada kanan, satu lagi di ketiak kiri yang menembus ketiak kanan, satu di pelipis kiri, dan satu lainnya tepat mengenai pusar. Bote pun gugur pada usia 24 tahun.
Penjelasan: