Oleh: Rosi Meilani
“Kakak, aku ingin payung-payungan seperti itu,” Sarah menunjuk pada Lea yang menyandarkan sebatang tanaman di bahunya.
"Oh, Cyperus alternifolius", ujarku dalam hati. Aku tahu nama latinnya, karena minggu lalu mempelajarinya. Tanaman tersebut sejenis rumput-rumputan. Tapi ukurannya lebih besar dan tinggi. Batangnya saja bisa seukuran kelingking. Malah tingginya ada yang sampai satu meter. Ujung batangnya ditumbuhi belasan daun. Daun-daunnya kurus melengkung ke bawah, mirip sebuah payung.
“Nanti, ya, Sar? Kakak ganti baju dan menyimpan tas dulu,” jawabku yang kala itu dicegat Sarah sepulang sekolah.
“Ya … ka, sekarang aja, Ka. Plis….,” rayuan Sarah membuatku iba.
“Lea, dimana kamu mendapatkan payung-payungan itu?” tanyaku.
“Di rumah kosong, Jalan Pelangi, itu loh. Aku dikasih sama kak Luna,” Lea menyebutkan nama kakaknya
“Ayo, aku tahu tempatnya, kak,” Sarah menarik tanganku. Tak lama, “Tuh, lihat kak!” Sarah menunjuk rumah besar di seberang jalan.
“Tunggu di sini, ya! Jangan ikut menyeberang!” ujarku, Sarah mengangguk.
Jalanan padat oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Sebetulnya aku bisa menyeberang di penyeberangan jalan (zebra cross), tapi jauh. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah lengang, barulah menyeberang.
Kudorong pintu gerbang rumah kosong itu, tapi terkunci. Untunglah rumpun tanaman payung-payungan itu menjulur keluar pagar besinya. Kurogohkan tangan untuk memetiknya. Setelah berhasil, kutunjukkan pada Sarah yang berada di seberang jalan. Sarah berjingkrak senang.
Karena jalanan sangat ramai, aku harus menunggunya hingga lengang. Tapi Sarah tak sabar. Di luar dugaanku, kakinya melangkah. Sepertinya ia akan menyeberang jalan.
“Sarah, jangan!” berteriaku. Tapi telat. Dalam waktu yang bersamaan sebuah becak melintas dengan cepatnya. Dan dalam waktu yang bersamaan pula aku langsung menutup mata.
BRAK! Terdengar suara benturan yang amat kencang. Aku langsung membalikkan badan dan berlari tanpa tujuan hingga masuk ke sebuah gang. Sambil berlari aku bingung. Apa yang telah kulakukan? Aku kaget dan merasa bersalah. Aku takut dimarahi Mama.
Perasaanku gundah. Terbayang Sarah terkapar di tengah jalan, berdarah-darah. Aku takut pulang. Aku takut Mama Papa memarahiku habis-habisan. Hingga akhirnya aku terduduk di sudut teras sebuah rumah kosong.
Aku terduduk lama di sana. Jantungku terus berdebar. Pikiranku bingung. Apakah aku harus pulang? ataukah tetap bersembunyi di sini. Mana aku lapar lagi. Karena sedari pagi belum bertemu nasi. Setelah beberapa lama, dari kejauhan terdengar suara yang kukenal memanggil namaku berulang-ulang.
“Tiara… Tiara…,” ujarnya.
Jantungku makin berdebar. Aku menciutkan badan.
“Kemana ya, anak itu?” lanjutnya, tepat dibalik tembok tempatku bersembunyi.
Aku tak bergeming. Tapi perutku yang kosong berontak. Ia ingin mengeluarkan anginnya. Meski kutahan, tapi ia memaksa juga. Akhirnya, duuttt… suara itu keluar kencang beserta wanginya.
“Nah, loh! Ketahuan!,” ujar tanteku memasang wajah yang lucu. “Ayo pulang!” ujarnya.
“Aku takut pulang, Tan. Takut dimarahi mama,” ujarku bertahan, tapi Tante Silvi menyakinkan bahwa Mama tidak akan marah padaku. Akhirnya, aku pun menuruti bujukkan Tante Sivi.
Selama perjalanan pulang aku terus-terusan membayangkan Mama dengan wajahnya yang marah. Tapi ketakutanku bertolak belakang. Mama menyambutku dengan pelukan.
“Tiara, Mama mengkhawatirkanmu. Kamu dari mana saja? Ayo makan nak! Kamu pasti lapar.”
“Mama ngak marah?” tanyaku heran.
“Kenapa harus marah?”
“Bukannya Sarah…,” aku celingukan ke setiap sudut rumah.
“Sarah ngak apa-apa kok,” ujar Mama yang menarik kursi makan.
“Hah? Lalu, suara itu?”
“Suara apa?”
“Suara kencang itu? seperti suara tabrakan?”
“Oh itu. Gara-gara si abang becak kaget melihat Sarah bergerak maju. Spontan ia menginjak rem, lalu becaknya oleng dan menabrak pagar rumah orang lain.”
“Jadi?” aku ternganga.
“Jadi, Sarah baik-baik saja,” ujar Mama. “Lain kali, kamu ngak boleh ninggalin Sarah begitu saja, ya? Untung waktu itu Tante Silvi lewat di tempat kejadian. Lalu Sarah diantar pulang,” lanjut Mama.
Ah, akhirnya aku merasa lega. Perasaan bersalahku hilang sudah. “Iya, Ma,” jawabku.
Dalam waktu bersamaan Sarah datang.
“Kakak! Kakak abis dari mana?”
“Maapin kakak, ya, Sarah. Nih!” kuberikan sebatang Cyperus alternifolius yang sedari tadi kupegang.
“Asikkk… Makasih kakak.” Sarah memelukku erat lalu berlengak-lengok menyandarkan sebatang Cyperus alternifolius di bahunya seolah sedang kehujanan.
TULISKAN RINGKASAN CERITA FIKSI TERSEBUT?
Pohon Payung Untuk Sarah
Ringkasan adalah penyajian kembali sebuah teks atau karya sastra ke dalam bentuk yang lebih ringkas, tanpa menghilangkan inti dari cerita tersebut.
Pembahasan
Pada kesempatan ini, soal menyajikan kita dengan sebuah teks fiksi. Kemudian, kita diminta untuk menyajikan ringkasan dari teks tersebut. Berikut kakak akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
RINGKASAN
Suatu hari, Sarah meminta payung-payungan yang terbuat dari tanaman padaku. Aku tahu tanaman itu, Cyperius alternifolius, sejenis rumput-rumputan dengan batang seukuran kelingking dengan daun yang kurus melengkung, persis seperti payung.
Aku lalu berkata padanya bahwa aku akan mengambilnya setelah ganti baju dan menyimpan tas, tapi Sandra tetap berkeras. Setelah bertanya pada Lea, aku tahu ia mengambilnya di rumah kosong di Jalan Pelangi.
Tak lama kami pun kesana. Aku lalu menyeberang jalan setelah memerintahkan Sandra menungguku di seberang jalan. Gerbang rumah itu terkunci, tapi untungnya tanaman payung-payungan itu menyembul keluar dari pagar besinya. Setelah berhasil mengambilnya, kuberikan tanaman itu pada Sandra yang kuyakin akan menerimanya dengan sangat girang.
Saking girangya, Sandra tak sadar melangkahkan kakinya ke jalan. Aku berteriak melarangnya, tapi terlambat karena adikku itu tersambar becak. Aku sangat takut, bahkan tak sanggup melihatnya. Aku bahkan berlari karena takut dimarahi mama.
Aku terduduk lemas dengan segala pikiranku di teras sebuah rumah kosong. Tiba-tiba ada seseorang memanggilku. Ternyata itu tanteku. Ia lalu mengajakku pulang, meski aku sempat menolak karena masih merasa takut.
Tapi ternyata sesampainya di rumah, mama tidak marah
. Aku heran, lalu mama menjelaskan bahwa Sandra tidak mengalami kecelakaan. Becak yang kupikir menabraknya ternyata oleng dan menabrak pagar tanpa melukai Sandra. Mama pun menegurku karena meninggalkan Sandra di jalan, meski untungnya dijemput oleh Tante Silvi yang kebetulan lewat.
Sesaat kemudian, Sandra datang. Aku pun merangkulnya dan memberikan tanaman payung-payungan yang diterimanya dengan senang.
Sebagai rujukan, berikut kakak sajikan kembali teks yang dimaksud oleh soal.
Pohon Payung Untuk Sarah
Oleh: Rosi Meilani
“Kakak, aku ingin payung-payungan seperti itu,” Sarah menunjuk pada Lea yang menyandarkan sebatang tanaman di bahunya.
"Oh, Cyperus alternifolius", ujarku dalam hati. Aku tahu nama latinnya, karena minggu lalu mempelajarinya. Tanaman tersebut sejenis rumput-rumputan. Tapi ukurannya lebih besar dan tinggi. Batangnya saja bisa seukuran kelingking. Malah tingginya ada yang sampai satu meter. Ujung batangnya ditumbuhi belasan daun. Daun-daunnya kurus melengkung ke bawah, mirip sebuah payung.
“Nanti, ya, Sar? Kakak ganti baju dan menyimpan tas dulu,” jawabku yang kala itu dicegat Sarah sepulang sekolah.
“Ya … ka, sekarang aja, Ka. Plis….,” rayuan Sarah membuatku iba.
“Lea, dimana kamu mendapatkan payung-payungan itu?” tanyaku.
“Di rumah kosong, Jalan Pelangi, itu loh. Aku dikasih sama kak Luna,” Lea menyebutkan nama kakaknya
“Ayo, aku tahu tempatnya, kak,” Sarah menarik tanganku. Tak lama, “Tuh, lihat kak!” Sarah menunjuk rumah besar di seberang jalan.
“Tunggu di sini, ya! Jangan ikut menyeberang!” ujarku, Sarah mengangguk.
Jalanan padat oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Sebetulnya aku bisa menyeberang di penyeberangan jalan (zebra cross), tapi jauh. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah lengang, barulah menyeberang.
Kudorong pintu gerbang rumah kosong itu, tapi terkunci. Untunglah rumpun tanaman payung-payungan itu menjulur keluar pagar besinya. Kurogohkan tangan untuk memetiknya. Setelah berhasil, kutunjukkan pada Sarah yang berada di seberang jalan. Sarah berjingkrak senang.
Karena jalanan sangat ramai, aku harus menunggunya hingga lengang. Tapi Sarah tak sabar. Di luar dugaanku, kakinya melangkah. Sepertinya ia akan menyeberang jalan.
“Sarah, jangan!” berteriaku. Tapi telat. Dalam waktu yang bersamaan sebuah becak melintas dengan cepatnya. Dan dalam waktu yang bersamaan pula aku langsung menutup mata.
BRAK! Terdengar suara benturan yang amat kencang. Aku langsung membalikkan badan dan berlari tanpa tujuan hingga masuk ke sebuah gang. Sambil berlari aku bingung. Apa yang telah kulakukan? Aku kaget dan merasa bersalah. Aku takut dimarahi Mama.
Perasaanku gundah. Terbayang Sarah terkapar di tengah jalan, berdarah-darah. Aku takut pulang. Aku takut Mama Papa memarahiku habis-habisan. Hingga akhirnya aku terduduk di sudut teras sebuah rumah kosong.
…
Pelajari lebih lanjut
Pada materi ini, kamu dapat belajar tentang ringkasan:
Detil jawaban
Kelas: VIII
Mata pelajaran: Bahasa Indonesia
Bab: Bab 1 – Sastra
Kode kategori: 8.1.1
Kata kunci: ringkasan, pohon payung, Sarah, teks fiksi