Sejarah terbentuknya komisi yudisial
Jawaban:
Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir tahun 1998. Saat itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung adalah penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut merupakan wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara sebelumnya yang dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Sejarah Komisi Yudisial dimulai pada 9 November 2001, saat sidang tahunan Majelis Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945. Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam konstitusi/dasar negara dalam Pasal 24B UUD 1945.
Kondisi peradilan menjadi salah satu fokus pembahasaan MPR RI, sehingga perlu diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Mengutip TAP tersebut digambarkan kondisi hukum sebagai berikut:
“ Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah
”
Beberapa agenda kebijakan mulai digagas, seperti pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dan pemisahan secara tegas antara fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum. Untuk merealisasikan hal tersebut, terdapat perubahan penting dalam tubuh kekuasaan kehakiman melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Salah satu pokok perubahan yang mendasar ialah penempatan aspek organisasi, administratif, dan finansial kekuasaan kehakiman di bawah satu atap di Mahkamah Agung. Sebelumnya, secara administratif, ketiganya ada di bawah kendali Departemen Kehakiman. Sementara itu, ketiganya, secara teknis yudisial, berada dalam kekuasaan Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan penyatuatapan kekuasaan kehakiman (one roof of justice system).
Kehadiran sistem tersebut bukan tanpa kekhawatiran. Menyadur naskah akademis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, penyatuatapan–tanpa perubahan sistem lainnya misalnya rekrutmen, mutasi, promosi, dan pengawasan terhadap hakim–berpotensi melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman.
Selain itu, ada pula kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung belum mampu menjalankan tugas barunya karena memiliki beberapa kelemahan organisasi yang sampai saat ini masih dalam upaya perbaikan. Alasan lain ialah gagalnya sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik, sehingga penyatuatapan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung belum menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Pertimbangan itu membuat ahli dan pengamat hukum mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi tugas menjalankan fungsi checks and balances. Kehadiran lembaga pengawas peradilan diharapkan agar kinerja pengadilan transparan, dipertanggungjawabkan, imparsial, dan mengedepankan aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.