Bagaimana proses peradilan HAM di Mahkamah Internasional ?

Posted on

Bagaimana proses peradilan HAM di Mahkamah Internasional ?

Jawaban Terkonfirmasi

 
PROSES PERADILAN  HAM DI TINGKAT INTERNASIONAl

 
Mahkamah
memberlakukan yuridiaksi terhadap tindak pidana agresi pada suatu saat
ketentuan di sahka tentang definisi tindakann sesuai dengan pasal 121 dan 123 tentang
definisi tindak pidana dan kondisi-kondisi di mana mahkamah dapat memberlakukan
yuridikasi terhadap tindak pidana ini. Ketentuan seperti ini harus sesuai
dengan ketentuan dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa
Pengadilan hanya memiliki yuridikasi untuk kejahatan yang dilakukan setelah 1
Juli 2002, ketika Statuta Roma diberlakukan. kemudian yang memutuskan
kasus-kasus yang harus diputuskan Pengadilan yaitu:

Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang
dapat dibawa ke Pengadilan:Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi
dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan,
berdasarkan informasi dari berbagai sumber,termasuk para korban dan
keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi atas
kejahatan dan individu tersebut.Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat
meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau
lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang
memberlakukan yuridiksi.Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk
menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.
Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika
Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun
kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
 
Di
dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut,
bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi akan
dilakukan Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada
keputusan hukum.
peran banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa
Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan
di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara
negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke
Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc
kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi dibekas
Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan
ke Pengadilan. Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan
akan dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta.  ICC akan mampu bertindak ketika pengadilan
negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka
tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan.
Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan ijinuntuk melakukan penyelidikan,
berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga,
LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara. para Jaksa Penuntut
tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan
dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama
seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB
memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain
kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.

Meskipun
anggara tahunan ICC mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil
dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang melakukan
penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih
lagi, karena ICC bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang,
maka ICC jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran
tersebut.
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan
hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB
dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut ICC, keputusan untuk
melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa
Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara,
melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber.
Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta
memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan
atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara
mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan
(Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan
permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.