Pendapat alamsyah terkait Pancasila

Posted on

Pendapat alamsyah terkait Pancasila

Penjelasan:

Disepakati Pancasila sebagai dasar NKRI tidaklah melalui jalan mulus.

Para founding father berdiskusi sampai terjadi debat intelektual seru yang

menyebabkan mereka hampir berada di ambang perpecahan. Akhirnya

disepakati Piagam Jakarta yang di dalamnya memuat Pancasila sebagai

dasar negara. Ternyata dengan Piagam Jakarta tidak lantas menyurutkan

perselisihan, terutama berkaitan dengan statemen ketuhanan dengan

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kemudian

dicapai solusi harmonis yang mempertimbangkan sensitivitas

pluralitas di Indonesia dan statemen di atas tergantikan dengan

pernyataan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kerangka hermeneutika,

Pancasila adalah teks yang dibentuk dan disepakati para founding

father, disampaikan kepada bangsa Indonesia, baik yang muslim

maupun non muslim; tetapi setelah Pancasila sampai kepada bangsa

Indonesia, para founding father tidak bisa mengendalikan sepenuhnya

agar bangsa Indonesia mengikuti pembacaan yang diinginkannya.

Kenyataannya bangsa Indonesia meresponnya berbeda sesuai dengan

pra-pemahamannya masing-masing meskipun sama-sama berasal dari

kelompok muslim sendiri. Namun demikian sampai saat ini, Pancasila

tetap sakti dan tegak di Indonesia.Berdirinya NKRI melalui sebuah proses yang panjang setelah sebelumnya

Indonesia dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Lepas dari Belanda,

Indonesia terperosok dalam cengkeraman Jepang sampai Jepang mengalami

kekalahan atas sekutu dengan dibombardirnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Karena

inilah maka Perdana Menteri Koiso pada tanggal 7 September 1944 menjanjikan

kemerdekaan untuk Indonesia.

Untuk merealisasikan janjinya itu maka Jepang membentuk Panitia Penyelidik

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam Bahasa

Jepang, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, tanggal 29 April 1945. Sebulan kemudian,

tepatnya tanggal 28 Mei 1945, badan ini dilantik dengan ketuanya Dr. Radjiman

Wedyodiningrat. Adapun anggotanya berjumlah 68 orang. Dari jumlah itu mayoritas

memang beragama Islam, tetapi yang mengatasnamakan wakil-wakil masyarakat

muslim hanya berjumlah 11 orang, yaitu: Ki Bagus Hadikusumo, KHA. Kahar

Muzakkir, H. Agus Salim, KH. Abdul Halim, KH. Masjkur, H. Ahmad Sanusi, KH.

Mas Mansjur, Abikoesno Tjokrosoejoso, Dr. Sukiman, KHA. Wahid Hasjim, dan

A. Baswedan (Djaelani, 1994, hal. 104-105; Effendi, 1998, hal. 84). Adapun sisanya

yaitu 54 orang mewakili kelompok nasionalis bersama wakil dari umat Kristiani

yang berjumlah 3 (tiga) orang, yaitu: AA. Maramis, J. Latuharhary, dan PF. Dahler

(“Piagam Jakarta,” 2016).

Badan bentukan Jepang ini mempunyai tugas untuk mengumpulkan usul,

saran, pendapat dari segenap lapisan masyarakat tentang hal-hal yang dibutuhkan

untuk memasuki era Indonesia merdeka. Untuk itu anggota BPUPKI mengadakan

sidang di gedung yang sekarang dinamakan Gedung Pancasila, jalan Pejambon 6

Jakarta selama 4 (empat) hari yaitu dari tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni 1945.

Di persidangan ini terjadi perbincangan sekaligus perdebatan tentang persoalan

dasar negara.

Perdebatan bermula tatkala Dr. Radjiman mengajukan pertanyaan tentang

landasan filosofis (Philosofische Gronslag) bagi negara Indonesia yang akan didirikan.

Sebagian besar anggota BPUPKI tidak siap untuk menjawabnya kecuali Ki Bagus

Hadikusumo sebagai wakil dari kelompok Islam yang saat itu memegang tampuk

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhammad Yamin, juga Soekarno sebagai

wakil golongan nasionalis. Ki Bagus mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena

mayoritas masyarakat Indonesia muslim. Dalam pidatonya, dia mengatakan bahwa:

“…Jika tuan-tuan bersungguh-sungguh menghendaki Negara Indonesia mempunyai

rakyat yang kuat bersatu padu berdasarkan persaudaraan yang erat dan kekeluargaan

serta gotong royong, dirikanlah negara kita di atas petunjuk al-Quran dan al-Hadis

seperti yang sudah saya terangkan tadi” (Djaelani, 1994, hal. 106). Sedangkan

Muhammad Yamin mengusulkan bahwa dasar negara untuk Indonesia merdeka

nanti tidak berdasarkan agama tertentu, tetapi berdasarkan peri-kebangsaan, peri-

kemanusiaan, peri-ketuhanan, peri-kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat (Maarif,

1996