Latar belakang demokrasi terpimpin

Posted on

Latar belakang demokrasi terpimpin

Demokrasi liberal atau sistem parlementer di
Indonesia berdampak pada instabilitas
keamanan, politik serta ekonomi. Hal ni
dibuktikan hanya dalam rentang waktu 10 tahun
terdapat 7 kabinet jatuh bangun. Disamping itu
muncul gerakan–gerakan separatis serta
berbagai pemberontakan di daerah. Sementara
itu, Dewan Konstituante yang bertugas menyusun
UUD yang baru gagal melaksanakan tugasnya
disebabkan adanya pertentangan diantara partai
politik di Konstituante.
Dalam pidato tanggal 22 April 1959 didepan
Konstituante dengan judul “Res Publica, Sekali
Lagi Res Publica”, Presiden Sukarno atas nama
pemerintah menganjurkan, supaya Konstituante
dalam rangka rencana pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin menetapkan UUD 1945 sebagai UUD
bagi ketatanegaraan yang definitif.
Dewan Konstituante berbeda pendapat dalam
merumuskan dasar negara. Pertentangan
tersebut antara kelompok pendukung dasar
negara Pancasila dan pendukung dasar negara
berdasar syariat Islam. Kelompok Islam
mengusulkan agar mengamademen dengan
memasukkan kata–kata : dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk–
pemeluknya ” kedalam Pembukaan UUD 1945.
Usul amandemen tersebut ditolak oleh sebagian
besar anggota Konstituante dalam sidang tanggal
29 Mei 1959 dengan perbandingan suara 201
(setuju) berbanding 265(menolak). Sesuai
dengan ketentuan tata tertib maka diadakan
pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan
suara terakhir dilakukan tanggal 2 Juni 1959
namun tidak mencapai quorum. Akhirnya
Konstituante mengadakan reses atau masa
istirahat yang ternyata untuk waktu tanpa batas.
Dengan memuncaknya krisis nasional dan untuk
menjaga ekses–ekses politik yang mengganggu
ketertiban negara, maka KSAD Letjen. A. H
Nasution atas nama pemerintah/Penguasa
Perang Pusat (Peperpu), pada tanggal 3 Juni
1959 mengeluarkan peraturan No. Prt./
Peperpu/040/1959 tentang larangan mengadakan
kegiatan politik. Kegagalan Konstituante dalam
melaksanakan tugasnya sudah diprediksi sejak
semula, terbukti dengan gagalnya usaha kembali
ke UUD 1945 melalui saluran konstitusi yang
telah disarankan pemerintah. Dengan jaminan
dan dukungan dari Angkatan Bersenjata,
Presiden Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959,
mengumumkan Dekrit Presiden. Keputusan
Presiden R I No. 150 tahun 1959 yang dikenal
sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memuat tiga
hal yaitu:
Pertama Menetapkan pembubaran
Konstituante
Kedua Menetapkan UUD 45 berlaku lagi
bagi segenap Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung
mulai tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlaku lagi UUDS
Ketiga Pembentukan MPRS, yang terdiri
atas anggota–anggota DPR ditambah dengan
utusan–utusan daerah dan golongan, serta
pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara dalam waktu yang sesingkat–
singkatnya