dikatagorikan ke dalam:
a. Fonemik
b. Fonetik
KUNINGAN (MASS) – Hari ini matahari bersinar penuh semangat. Pak tumin terus mengayuh sepedanya menjajahkan cilok dagangannya.
Wajahnya mulai terlihat basah oleh keringat yang sedari tadi menyapu keriput kulit tuanya. Sesekali ia berhenti dibawah pepohonan yang rimbun teduh.
Ketika ia mengecek panci dagangannya yang masih penuh dan belum satupun laku terjual, ketika itu pula ia melihat wajah istri dan anaknya.
Ia menyeka keringat dengan handuk yang ia gantungkan di lehernya lalu kembali mengayuh sepedanya. Desa demi desa ia singgahi. Setiap desa terlihat sama, karena berdiri posko-posko covid-19 di setiap perbatasannya.
Mengingat memang sedang marak dan merebaknya virus yang berhasil mengguncang dunia akhir-akhir ini.
Pada setiap pintu masuk desa, orang yang baru diwajibkan melapor dan bahkan bisa berujung larangan masuk. Hal ini mengherankan karena setiap warga desanya yang merantau di kota-kota besar justru diperbolehkan masuk meskipun mendapat gelar dadakan sebagai ODP (Orang Dalam Pengawasan).
Lantas kenapa orang-orang yang jelas memiliki riwayat berpergian jauh seperti rantauan tersebut justru boleh-boleh saja masuk.
Sementara para pedagang keliling yang mungkin berasal dari beberapa desa tetangga justru banyak yang mendapat penolakan atau kesulitan untuk masuk karena jalannya dipagari rentetan bambu sedang atau besar yang memblokade jalan.
Rasa lelahnya tidak boleh sia-sia. Ia harus pulang dengan membawa rupiah. Hanya itu yang ada dalam benak pak tumin. Tapi sayang, raga rentannya justru tak sepaham dengan inginnya. Kakinya mulai lelah mengayuh. Ia berhenti di sebuah warung kopi kecil pinggir jalan.
Pak Tumin: Punten bu ngiring calik.
Ibu warung: Mangga pak.
Perutnya yang belum terisi sedari pagi sedikit memprotes keberadaannya. Ia bingung, mengingat belum sepeserpun uang yang ia dapat.
Mata sayunya sesekali melirik hamparan ubi goreng dan aneka gorengan lainnya. Tapi apa daya, ia harus mengubur dalam rasa inginnya. Melihat gelagat pak tumin seperti itu, si ibu pemilik warung tersebut mengerti dan merasa iba
Ibu warung: Pak silahkan ambil saja pak
Pak tumin: Ah terimakasih bu, saya hanya numpang duduk saja
Karena merasa malu, tak berapa lama pak tumin pamit
Pak tumin: Ibu terimaksih
Ibu warung: Tunggu dulu pak! ini saya bungkuskan beberapa gorengan untuk bapak
Pak tumin: Tapi bu, saya tidak punya uang, dagangan saya belum laku sama sekali
Ibu warung: Tidak usah pak, saya ikhlas, ini buat bapak di jalan, saya tahu bapak lapar, dari tadi saya tidak sengaja mendengar suara perut bapak hehe
Pak Tumin: Ah terimaksih bu terimakasih…
Ibu warung: Sama-sama pak
Pak tumin: Kalau begitu saya pamit bu
Wajah pak tumin sedikit sumringah melihat beberapa gorengan yang dibungkus koran tersebut. Sebenarnya bisa saja ia memakan dagangannya sendiri untuk sekadar memuaskan rasa laparnya.
Tapi ia berpikir bahwa jika cilok-cilok itu berhasil ditukar dengan uang, maka ia bisa merasakan rasa kenyang dan rasa bahagia itu bersama anak dan istrinya juga.
Tak jauh kemudian ia berhenti untuk menyantap gorengan pemberian tadi. Ternyata di dunia ini masih ada orang-orang yang baik pikirnya. Ia kembali menyetandarkan sepedanya, lalu duduk di batu pinggir jalan.
Analisis cerita karangan anda, kemudian ambil contoh kata/kalimat yang dapat
dikatagorikan ke dalam:
a. Fonemik
b. Fonetik
Analisis cerita karangan anda, kemudian ambil contoh kata/kalimat yang dapat
Jawaban:
fonetik
Penjelasan:
karena menjelaskan atas dasar tutur kata pada setiap kalimat dan sudut pandang seseorang.