Apa itu teks tersebut Aku bukan patung
Jawaban:
walnya gelap, tapi tiba-tiba… cahaya mentari menyilaukan. Sangat menyilaukan, tapi kenapa aku tidak bisa menutup mataku? Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Tubuhku, oh tubuhku tidak bisa bergerak. Kenapa tubuhku membeku seperti ini? Kenapa ini Tuhan? Air, ikan koi, bunga teratai merah muda? Aku dikelilingi mereka. Aku berada di tengah-tengah… kolam? Kenapa aku bisa berada di tengah kolam ini, Tuhan?
Burung pipit kecil hinggap di bahuku, meloncat, lalu pergi. “Hei burung pipit kecil, tolong aku, aku tidak bisa bergerak. Hei, jangan pergi..” teriakku. Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah suaraku tidak terdengar? “Siapa pun, aku mohon, tolong aku!” teriakku menghiba.
Gemericik pancuran kolam, ikan koi yang tenang, bunga teratai merah muda kuncup dan mekar. Aku menikmati semuanya. Berulang-ulang. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku terperangkap di sini selamanya?
Hai, ikan koi dapatkah kau membantu membebaskanku?” tanyaku pada ikan koi yang sejak tadi memandangku dari sela-sela bunga teratai.
“Maaf kawan, tubuhku terlalu kecil dan lemah untuk menolongmu,” jawab ikan koi.
“Ayolah koi, tolong!” pintaku menghiba.
Ikan koi itu berenang mendekati kakiku. Lalu bekata, “Kamu harus bisa membebaskan dirimu sendiri dengan berjanji tidak bermalas-malasan lagi,”
“Huuh,” kataku kesal mendengar ucapan ikan koi.
Tiba-tiba, entah kenapa kali ini pandanganku tertuju pada sosok gadis cantik berbaju krem lembut. Ia berjalan perlahan. Rambut lurus hitam terurai, bola mata coklat indah, bulu mata lentik, bibir merekah, kulit putih langsat berjalan perlahan, ke arahku. Ah tidak, ia berjalan lalu duduk di kursi tepat di depanku. Ia mengeluarkan buku dari tas tangan kecil putihnya dan membuka perlahan buku itu.
Lalu, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan lincah. Tapi, tiba-tiba matanya memandang padaku, melihatku agak lama, dan kemudian berjalan ke arahku. Apakah dia bisa endanger? “Patung ini bagus sekali, terlihat tampan.” katanya. Ia lalu mengambil sesuatu di tas putihnya. Sebuah ponsel. Ia lalu mengambil gambarku dengan ponsel itu dan kemudian tersenyum. Oh, Tuhan.
Sementara ia di dekatku, ingin sekali aku memetik dan memberikan setangkai mawar merah muda yang ada di pinggir kolam ini padanya. Ah, tidak, menyapanya saja, itu sudah cukup bagiku. Tapi apa daya, aku tidak bisa bergerak. Tubuhku beku. Bibirku bisu. Aku hanya sebuah patung tembaga di tengah-tengah kolam ikan koi kecil. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah melihatnya, melihatnya, dan… melihatnya pergi.
Gadis itu pergi, gadis itu pergi. Oh, Tuhan, betapa menyedihkannya aku. Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya patung, tidak bisa bergerak, berjalan, ataupun berlari. Bicara pun aku tak bisa. Menutup mataku karena mentari yang menyilaukan pun aku tak bisa. Kenapa aku hanya sebuah patung? Patung yang indah, tampan, tapi tidak berguna. “Kenapa, kenapa aku hanya sebuah patung? Kenapa? Kenap?” teriakku sekencang-kencangnya.
Perlahan, aku membuka mataku. Terasa berat. Kukedipkan mataku, berkali-kali. Kuraba wajahku, masih lengkap dan tidak keras. Hanya tulang hidungku yang keras. Kugerakkan kepalaku, ke kanan dan ke kiri, jari tanganku, lenganku, kakiku, semuanya, dan yang terakhir adalah badanku.
Oh, aku masih berbaring di atas kasur empukku dan selimut hangat. Ternyata hanya mimpi. Aku sedikit lega. Aku segera bangkit dari tidurku dan duduk memanjatkan doa, bersyukur kepada Tuhan karena telah membangunkanku dari tidurku. Segera kulipat selimutku dan berjalan menuju cermin yang menempel di almari pakaian. Sambil kupandangi wajahku di cermin, kuberkata dalam hati. Tuhan, aku bukan patung, aku bukan patung, dan jangan jadikan aku patung. Aku adalah manusia. Mungkin itu akibat kemalasanku. Aku janji akan mearaih tujuanku, cita-citaku, hidupku. Aku tidak akan malas lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu belajarku. Aku tidak akan membiarkannya pergi. Sekarang