Apa tujuan belanda membuat sensus penduduk?
Dalam lima dasawarsa setelah kemerdekaan Indonesia, telah banyak
kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah Indonesia yang
akhirnya membentuk perubahan-perubahan besar dalam profil demografi
penduduk Indonesia iu sendiri. Untuk itu, agar mengerti dalam pemahaman
tentang latar belakang dan motivasi dibalik kebijakan-kebijakan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah, perlu dicermati sifat pengumpulan
data pada saat rezim Belanda. Hal ini dikarenakan oleh dengan
ditunjukannya suatu fakta bahwa keputusan birokrat sebelumnya mempunyai
dampak yang melekat terhadap kita untuk memahami konsep sosial dari
suatu kebijakan kependudukan. Untuk itu hal ini akan diulas tentang
upaya Soekarno dalam penyusunan rencana guna membangun Indonesia yang
lebih sejahtera serta dinamika penduduk yang dihadapi
Pada Tahun 1920
dan 1930 saat zaman kolonial Belanda, Indonesia telah melaksanakan
sensus penduduk, hal ini dikarenakan untuk memeperoleh data kelahiran
dan kematian yang pada saat itu masih merupakan barang langka, Pada
tahun 1940 sensus penduduk dibatalkan dikarenakan adanya penyerbuan
Jerman ke Belanda. Pada Masa lalu sumber data tentang penduduk yang
paling akurat terutama berfokus pada daerah jawa dan Madura, Hal ini
dikarenakan adnya “sistem Kesehatan” sehingga mempermudah dalam
mendapatakan data penduduk saat itu. Pada tahun 1930, Sensus penduduk
dilakukan diseluruh Hindia Belanda, dan mendapatkan hasil yaitu 60,7
Juta penduduk. Dimana 67 % tunggal di Pulau Jawa. Dalam hal ini, survey
saat itu menenmukan kendala, salah satu yang sangat berpengaruh adalah
karena tingginya angka buta huruf. Akhirnya munculah sekolah-sekolah
pada saat zaman belanda tersebut dari Vervologschool, HIS, MULO, AMS,
sampai sekolah Taman Siswa. Akan tetapi walaupun pemerintah kolonial dan
para pemimpin Nasional mengupayakan peningkatan pendidikan bagi orang
Indonesia, kemahiran membaca dan menulis penduduk tetap saja rendah.
Hasil sensus penduduk taun 1930 mengatakan bahwa hanya 13% laki-laki
dewasa dan 2% perempuan dewasa yang dapat membaca dan menulis. Hal ini
berlanjut sampai tahun 1950-an yang membuktikan bahwa pekerja Indonesia
masih mengalami rintangan karena rendahnya angka melek huruf