Apa yang kamu ketahui mengenai ULN di Negara berkembang seperti Indonesia. Jelaskan.
Sejak krisis utang luar negeri (ULN) dunia pada awal 1980-an, masalah ULN yang dialami oleh banyak negara sedang berkembang (NSB) tidak semakin baik. Banyak NSB semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian struktual terhadap ekonomi mereka atas desakan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama (Tambunan, 2001).
Tingginya ULN dari banyak NSB disebabkan terutama oleh tiga jenis defisit :
1) Defisit transaksi berjalan (TB) atau didalam literatur umum disebut trade gap, yakni ekspor (X) lebih sedikit daripada impor (M).
2) Defisit investasi atau I-S gap, yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi (I) di dalam negeri lebih besar daripada tabungan nasional atau domestik (S)
3) Defisit fiskal atau fiscal gap.
Dari faktor-faktor tersebut, defisit TB sering disebut didalam literatur sebagai penyebab utama membekaknya ULN dari banyak NSB. Besarnya defist TB melebihi surplus neraca modal (CA) (kalau saldonya memang positif) mengakibatkan defisit neraca pembayaran (BoP), yang berarti juga cadangan devisa (CD) berkurang.
Apabila saldo TB setiap tahun negatif, maka CD dengan sendirinya akan habis jika tidak ada sumber-sumber lain (misalnya modal investasi dari luar negeri), seperti yang dialami oleh negara-negara paling miskin di benua Afrika. Padahal devisa sangat dibutuhkan terutama untuk membiayai impor barang-barang modal dan pembantu untuk kebutuhan kegiatan produksi di dalam negeri.
Dapat dimengerti bahwa, defist TB yang terus-menerus membuat banyak NSB harus tetap bergantung pada pinjaman luar negeri (PLN), terutama negara-negara yang kondisi ekonominya tidak menarik investor-investor asing, sehingga sulit bagi negara-negara tersebut untuk mensubsitusikan PLN dengan investasi, misalnya dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini tingkat ketergantungan Indonesia pada ULN tidak pernah menyurut, bahkan mengalami suatu akselerasi yang pesat sejak krisis ekonomi 1997/98, karena pada periode tersebut pemerintah Indonesia terpaksa membuat utang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai pemulihan ekonomi.
Pada masa normal selama pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai defisit investasi, defisit TB, dan beberapa komponen dari sisi pengeluaran pemerintah di dalam APBN.
Perkembangan ULN Indonesia
Besarnya akumulasi ULN, terutama sangat terasa setelah krisis ekonomi 1997/98, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004, khususnya untuk ULN pemerintah. Sejak itu, kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN. Sebagai alternatif pembiayaannya, pemerintah berusaha agar defisit APBN didanai lewat penerbitan obligasi.
Ketergantungan terhadap ULN akan memperbesar defisit APBN, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap tidak berubah, yang selanjutnya menambah ketergantungan pada ULN.
Selain di (GBHN) tahun 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah terhadap ULN juga dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2002-2004 (UU No.25 Tahun 2000) mengenai program atau pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Adapun sasarannya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk keperluan pembangunan secara optimal dan menurunnya beban ULN.
Selain itu, BAPPENAS juga membuat strategi pengelolaan ULN untuk mengantisipasi masalah likuiditas dan solvabilitas guna mencapai kesinambungan fiskal dan perekonomian yang terkait dengan ULN. Keempat strategi itu adalah : 1. percepatan pencapaian batas aman ULN, 2. penetapan prioritas penggunaan ULN, 3. pembentukan lembaga pengelolaan utang (DMO), dan 4. Pembenbentukan perangkat peraturan bagi landasan kebijakan pengelolaan ULN.
Masalah ULN sebenarnya bukan merupakan masalah baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah mempunyai ULN, bahkan semasa penjajahan Belanda. Namun, ULN baru menjadi masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih pada pertengahan dekade 80-an, yakni utang baru yang diterima lebih kecil daripada cicilan pokok dan bunganya yang harus dibayar setiap tahun. Ini tentu berarti ULN yang baru sama sekali tidak bisa digunakan sesuai tujuannya selain untuk membayar sebagian dari cicilan pokok dan bunganya