Apa yang menjadi konsep dasar Dwifungsi ABRI?
Sejak Badan Keamanan Rakyat terbentuk setelah Indonesia merdeka, hingga resmi bernama Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juni 1947, militer belum terpikir untuk ikut campur lebih dalam pada pemerintahan. Selama masa revolusi fisik itu kaum serdadu lebih fokus untuk mempertahankan kemerdekaan.
Setelah melalui serangkaian perundingan, kedaulatan Indonesia akhirnya diakui Belanda pada akhir 1949. Tugas militer kemudian sedikit bergeser, yakni memadamkan gerakan-gerakan kedaerahan. Seiring waktu mulailah muncul pertanyaan: Jika negara sudah aman sepenuhnya, apa yang akan diperbuat para tentara?
Dari pemikiran inilah Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat memperkenalkan konsep “jalan tengah.” Konsep ini embrio dari Dwifungsi TNI/ABRI yang membuka jalan bagi militer berpolitik, bahkan kelak mencampuri urusan seluruh sektor kehidupan sipil atas nama "stabilitas nasional."

UU Darurat Perang
Sebenarnya masih menjadi perdebatan kapan tepatnya militer Indonesia mulai mengambil peran dalam politik. Mengingat militer Indonesia lahir dari revolusi kemerdekaan, bukan hasil bentukan negara, ada yang berpendapat TNI sudah sejak awal berpolitik (Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, 2007:2).
Namun, Jusuf Wanandi dalam “Theory and Practice of Security Sector Reform: The Case of Indonesia” (2003) meyakini militer mulai berperan signifikan dalam perpolitikan Indonesia sejak berlaku Undang-undang Keadaan Darurat Perang (Martial Law) atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada 1957 (Bakrie, 2007:2).
Tulisan David Jenkins, “The Evolution of Indonesian Army Doctrinal Thinking: The Concept of Dwifungsi” (dalam South Asia Journal of Social Science, Vol. 11, 1983:14-30), menambahkan bahwa SOB terkait merosotnya pamor demokrasi parlementer serta pergolakan daerah yang bikin hubungan dengan Jakarta memburuk dan akhirnya meledak lewat Pemerintahan Revolusioner Indonesia pada 1958.