Apa yang menyebabkan portugis terusir dari ternate?
Karena Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575)
Baabullah memimpin perang menurut pola kesultanan asli Ternate, dimana Tomagola bertanggung jawab atas Ambon dan Seram; Omaitu atas Buton; Jougugu Doreru pada wilayah Halmahera, Sanger dan Sultan Jailolo, Katara Bumi sebagai koordinator handal di Sulawesi dan Kalimantan.
Dari Nusa Tenggara para sangaji berdatangan dengan armada perangnya yang dikenal dengan armada Gurap. Negara Demak pun mengirimkan laskar melalui armada Jepang yang dikenal itu. Kerajaan Aceh dengan armada maritime perkasa berkekuatan 30.000 kapal perang siap memblokir pertahanan Sumatera dan memblokade pengiriman bahan makanan dan amunisi Portugis lewat jalur India dan Selat Malaka. Aceh menampilkan srikandi laksamana Keumala Hayati (Malahayati) yang mengultimatumkan Portugis untuk berhadapan dengan armadanya melawan Portugis di Maluku.
Banjir darah terjadi di kepulauan rempah-rempah. Armada “kora-kora di lautan harus berhadapan dengan Halleon-galleon raksasa Portugis”. Di daratan semua yang berbau Portugis dihancurkan. Sultan Baabullah sebagai pimpinan perang di daratan sangat ditakuti lawannya, sedangkan di lautan dia dikenal sebagai laksamana perang yang handal. Dengan kharisma sebagai pemimpin, Baabullah telah menunjukkan keperkasaannya sebagai koordinator yang handal dari berbagai suku yang berbeda akar genealogis. Sultan Baabullah sendiri diakui dan telah dikukuhkan sebagai “khalifah emporium Islam Nusantara” oleh majelis sidang raja-raja yang bersekutu dengan Ternate di Kerajaan Gowa Makassar, dan tercatat kekuatan pasukannya mencapai 130.000 orang.
Satu persatu kota kebanggan Portugis jatuh. Santo Paolo diblokade siang malam. Di Bacan dan Ambon Portugis dihadang rakyat. Di Sanger terjadi huru hara dan meluas ke seluruh Sulawesi. Perang penjebolan ini berjalan penuh dengan satu semangat melawan penetrasi Eropa, membela kedaulatan wilayah, kedaulatan pelayaran, kedaulatan perairan dan perdagangan Nusantara.