Bagaimana sikap kita terhadap hasil ijtihad?
1. Tidak boleh mengingkari orang yang menyelisihi ijtihad seorang ulama, apalagi sampai menyatakan fasiq, mengatakan berdosa, atau mengkafirkannya.
2. Jika ingin mengingkari, maka harus dengan penjelasan hujjah (artinya
dengan dalil).
3. Tidak layak bagi seorang ulama mujtahid memaksa manusia untuk mengikuti pendapatnya.
Imam Ahmad mengatakan, “Laa yanbaghi lil faqiih ay yahmilan naas ‘ala madzhabihi (Tidak layak bagi seorang yang berilmu untuk memaksa manusia agar mengikuti pendapatnya)”.
4. Selain ulama mujtahid boleh baginya mengikuti salah satu dari dua pendapat jika ia yakin benarnya pendapat tersebut. Begitu pula selanjutnya, ia boleh meninggalkan pendapat tersebut dan mengambil pendapat lainnya dengan alasan karena mengikuti DALIL, bukan hanya sekedar mengikuti hawa nafsu.
5. Tidak layak bagi seorang ulama mujtahid untuk memastikan benarnya pendapatnya dan menyatakan keliru pendapat lain yang menyelisihinya, jika ini dalam permasalahan yang masih memiliki penafsiran sana-sini.
6. Perselisihan dalam masalah ijtihadiyah tidaklah mengeluarkan dua orang yang berselisih dari area iman jika mereka mengembalikan perselisihan tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.
7. Seorang mujtahid hendaknya mengikuti hasil ijtihadanya. Dan tidak boleh ia meninggalkan ijtihadnya tersebut kecuali jika dia mendapat kejelasan kelirunya pendapatnya yang pertama. Maka boleh jadi seorang mujtahid memiliki dua pendapat yang bertentangan di waktu yang berbeda dan sangat mustahil terjadi pada satu waktu.
8. Seorang ulama mujtahid jika ia berijtihad maka boleh jadi ia mendapatkan satu pahala (karena hasil pencurahan ijtihadnya) jika ia keliru dan boleh jadi ia mendapat dua pahala jika ia benar. Ini semua jika ia benar-benar bertakwa pada Allah dalam ijtihadnya.
9. Masalah ijtihadiyah adalah masalah yang masih ada prasangka kuat (zhonniyah) secara umum. Artinya, tidak bisa dipastikan benar atau kelirunya pendapatnya.
Namun boleh jadi masalah ijtihadiyah bersifat qoth’i (pasti) dan yakin, yaitu dapat dipastikan benarnya. Artinya seorang mujtahid boleh jadi menyelisihi kebenaran tanpa ia sengaja. Boleh jadi dia menyelisihinya karena adanya pertentangan dalil atau masih samarnya dalil. Maka tidak boleh seseorang mencela orang yang menyelisihi hasil ijtihadnya.
Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat. 🙂