Buatlah rangkuman tentang perang Diponegoro dan perang paderi
Jawaban:
perang diponegoro :
Perang Diponegoro merupakan perang besar yang berlangsung 5 tahun (1825-1830). Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro untuk melawan pasukan belanda yang dipimpin Jenderal De Kock .
Akibatnya sekitar 200.000 pejuang rakyat jawa gugur & di kubu belanda menewaskan sekitan 8000 tentara belanda. Berbagai dukungan datang untuk membantu pasukan Diponegoro terutama para ulama antara lain dari Pangeran Mangkubumi, Sentot Ali Basyah, Haji Mustopo, Haji Badarrudin & Kyai Mojo.
Seusai melihat pemasangan pathok tersebut, maka Pangeran Diponegoro menggantinya dengan tombak. Akhirnya tentara belanda hendak menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai memberontak. Seketika itu juga rakyat mendeklarasikan perang terhadap Belanda.
Pada tanggal 20 Juli 1925, Belanda pun langsung berniat menangkap Pangeran Diponegoro di kediamannya daerah Tegalrejo. Namun akhirnya beliau dapat lolos & melarikan diri ke daerah Dekso, Kulonprogo sampai akhirnya tiba di Goa Selarong di daerah Bantul
Dalam menghadapi pasukan Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan taktik Gerilya yaitu dengan melakukan pengelabuan, serangan kilat & pengepungan tak terlihat. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro, pasukan Belanda pimpin De Kock menggunakan taktik Benteng Stelsel yaitu mendirikan benteng di setiap daerah yang dikuasainya yang dihubungkan dengan jalan agar komunikasi & pergerakan pasukan bergerak lancar.
Taktik tersebut digunakan untuk mempersempit gerakan Pangeran Diponegoro dan hasilnya terbukti sukses . Di tahun 1829 , Kyai Mojo yang merupakan salah satu pemimpin pemberontakan ditangkap , lalu disusul oleh Pangeran Mangkubumi & Sentot Ali Basyah yang menyerah terhadap belanda.
perang padri :
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.