Buatlah teks editorial bertemakan isu sepakbola
Sebagai penggemar sepakbola sejati, Anda tentu paham tak ada yang mengalahkan nikmat menyaksikan sepakbola langsung di stadion – antusiasme, hasrat bahkan drama di lapangan, rasanya tak tergantikan.
Namun tidak semua dari kita bisa hadir di stadion setiap saat, entah karena itu kendala ekonomis, jarak maupun fisik. Dan dalam beberapa abad terakhir, kemajuan teknologi berusaha menutupi gap tersebut, mulai dari laporan pandangan mata di radio, siaran langsung di televisi maupun streaming via internet.
Bagi kita di tanah air, tayangan langsung di televisi sudah begitu membantu menjembatani dukungan dengan tim-tim kesayangan, terutama di pentas Eropa. Bahkan juga untuk tim nasional yang kita siram dengan dukungan patriotisme meski hanya lewat teriakan di depan layar kaca.
Namun saya, dan mungkin sebagian penikmat sepakbola, mungkin kini merasakan kenikmatan tersebut tak lagi sempurna. Penyebabnya tentu adalah 'kecerdikan' stasiun televisi mengelola iklan dalam siaran langsung sepakbola.
Sebagai tayangan yang menyajikan 90 menit, atau lebih, penuh aksi, merupakan hal yang tak lazim jika diselipi rayuan komersial. Saya sendiri masih berusaha maklum kala iklan dalam tayangan sepakbola masih berupa teks berjalan di bagian bawah layar yang tak terlalu mengganggu. Namun sepertinya pemakluman itu disikapi sebagai penerimaan sehingga teks berjalan kemudian disulap menjadi animasi yang terkadang mengalihkan aksi sebenarnya di lapangan.
Lebih geram lagi ketika saya menyaksikan perjuangan skuat Garuda Jaya di babak kualifikasi Piala AFC U-19 kemarin. Bagaimana tidak, dalam suasana tegang dan panas menyaksikan anak asuh Indra Sjafri bersimbah darah dan peluh di lapangan, stasiun televisi yang mendapatkan hak tayang menyisipinya dengan iklan berdurasi cukup panjang layaknya sebuah sinetron, meskipun itu di tengah jeda aksi di lapangan.
Saya sebelumnya berusaha memahami jika sebuah tayangan sepakbola membutuhkan sokongan finansial dan itu didapat salah satunya dengan iklan. Dengan sebagian besar, jika tidak seluruhnya, dari 200 juta lebih bangsa Indonesia menyaksikan televisi di saat bersamaan, potensi bisnis yang hadir begitu besar untuk dilewatkan. Namun cara ala stasiun televisi tersebut membuat sepakbola sebagai sebuah tontonan hiburan, tak lagi nyaman dinikmati. Sepantasnya sebagai stasiun televisi berskala nasional, mereka memikirkan cara yang lebih elegan dan kreatif untuk menyisipkan promosi dalam siaran penuh fanatisme macam sepakbola.
Dan jika dirunut pada aturan FIFA, cara 'ilegal' seperti itu sebetulnya tidaklah dibenarkan. Otoritas tertinggi sepakbola dunia itu sudah dengan tegas melarang penggunaan 'iklan virtual', apapun bentuknya, segera ketika tim memasuki lapangan hingga meninggalkan lapangan – terutama dalam kalender resmi macam Piala AFC U-19 kemarin.

Selain iklan, yang kerap mengganggu benak saya adalah pertandingan sepakbola kerap harus mengalah dari tayangan opera sabun di televisi. Sering kita jumpai di negeri ini, partai yang seharusnya bisa ditayangkan petang hari harus molor menjadi lebih malam karena stasiun televisi yang memenangkan hak siar belum selesai mengudarakan acara unggulannya. Sungguh ironis karena permainan fisik macam sepakbola sejatinya tak ideal dimainkan di waktu larut, apalagi jika cuaca tengah tak bersahabat.
Mungkin kita sebagai pecinta sepakbola takkan bisa menuntut apapun dari sebuah stasiun televisi yang sudah bermurah hati memberi kita siaran gratis tanpa dipungut biaya, terutama di tengah dunia sepakbola yang dijerat gurita bisnis – bahkan di luar negeri sekalipun. Namun setidaknya kita bisa berharap pihak-pihak terkait mempertimbangkan cara lebih kreatif untuk menggabungkan sepakbola dan kepentingan komersilnya, karena unsur sejati yang tak bisa dihilangkan dari permainan di lapangan hijau adalah aksi yang menghibur tanpa interupsi. Semoga doa kita didengar…