Kebebasan berpendapat pada orde Baru
.
Mata. Selalu Mata yang menjadi bulan-bulanan atasan. Atasan tak pernah lelah untuk mencari sepasang Mata, mencopotnya, dan menutupnya menggunakan kain merah-putih. Dengan embel-embel ‘demokrasi’, Mata rakyat diperdaya dan digantikan menggunakan sepasang Mata baru buatan atasan itu sendiri.
“Kebebasan berpolitik harus dibatasi. Demi mengatasi kemiskinan, hak asasi harus dikurangi,” kata atasan.
“Lantas apa guna dasar negara kita, Pak? Untuk hiasankah?”
“Tempat kita memang menganut paham demokrasi. Namun, sebaiknya seorang Mata tidak usah ikut campur. Seorang Mata harus menuruti kata atasan.”
“Lantas mengapa disebut demokrasi, Pak? Untuk hiasankah?”
Lagi-lagi Mata rakyat yang disalahkan. Mata tersebut diikat di kursi lalu disiksa hingga Ia menyerah. Bila Mata menangkap ihwal yang ganjil dari atasan, Mata harus diam. Tidak bersuara.
“Ssssttt! Diam! Sudah kubilang kau untuk diam!” bentak seorang pemuda bertopi baret merah.
“Tetapi, Pak.”
“Cukup! Ini merupakan peringatan terakhir untukmu. Atasanku tidak akan bersabar hati lagi padamu! Camkan itu!”
“Tetapi, Pak.”
“ .