Kondisi politik kerajaan prahajyan sunda
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.
Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030 Jayabhupati membuat daerah larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian sungai yang siapa pun dilarang mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun yang melanggar larangan akan terkena kutukan yang mengerikan, misalnya akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.
Berdasarkan gelarnya yang menunjukkan persamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur dan masa pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan tersebut ada hubungan atau pengaruh. Akan tetapi, Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah haji ri Sunda (raja di Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan Airlangga. Sementara itu, perihal kutukan bukanlah sesuatu yang biasa terdapat pada prasasti yang berbahasa Sunda sehingga kemungkinan Jayabhupati bukan orang Sunda asli.
Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh gelarnya (Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan agama yang dianut Raja Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal abad ke-11 adalah Hindu Waisnawa.