Pada bulan desember 2019 jumlah narapidana mencapai 267.912 orang dengan rincian korupsi 4.037 orang terorisme 464 orang dan narkotika 122.768 orang. Bandingkan berapa prosenkah terjadinya kasus kejahatan transnasional untuk (tindak pidana,korupsi,narkoba,dan terorisme) di indonesia.

Posted on

Tolong bantuannya kak
Plisss jangan asal asalan!!!​

Pada bulan desember 2019 jumlah narapidana mencapai 267.912 orang dengan rincian korupsi 4.037 orang terorisme 464 orang dan narkotika 122.768 orang. Bandingkan berapa prosenkah terjadinya kasus kejahatan transnasional untuk (tindak pidana,korupsi,narkoba,dan terorisme) di indonesia.

Jawaban:

Di Indonesia selama tahun 2019 banyak terjadi kasus kejahatan transnasional atau kejahatan lintas negara, yang meliputi tindak pidana korupsi, narkotika dan terorisme.

Hingga Desember 2019 jumlah narapidana mencapai 267.912 orang, meliputi: korupsi 4.037 orang, terorisme 464 orang, dan narkotika 122.768 orang.

Jumlah tahanan atau narapidana terbanyak di Indonesia adalah kasus narkotika sebanyak 122.768 orang, meliputi: bandar atau pengedar 49.264 orang dan pengguna 73.504 orang.

Dengan banyaknya kasus kejahatan transnasional di Indonesia tersebut, sistem penegakan hukum Indonesia bukannya semakin membaik. “Tapi, malah justru terkesan semakin buruk,” kata Dr Trisno Raharjo, SH, M.Hum, di Ruang Sidang Fakultas Hukum UMY, Kamis (26/12/2019).

Selaku Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, Dr Trisno Raharjo, SH, M.Hum, menyoroti hal itu dalam Refleksi Akhir Tahun 2019 bertemakan “Kajian Kejahatan Transnasional Korupsi, Narkotika dan Terorisme”.

Berdasarkan kajian bersama Heri Purwanto, SH, MH dan Laras Astuti, SH, MH, selaku Peneliti Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi, Trisno menyampaikan, penegakan hukum di Indonesia bukan hanya sistemnya saja yang terkesan semakin buruk.

“Namun juga terlihat pada para penegak hukumnya yang kinerjanya melemah dan munculnya peraturan baru yang berusaha melemahkan penegakan hukum di Indonesia,” tandas Trisno Raharjo.

Berkaitan hal itu, Trisno Raharjo menyontohkan kasus yang terjadi pada BNPP dengan kritikan yang diterima bahkan sampai memunculkan wacana pembubaran BNPP, penusukan mantan Menkopolhukam Wiranto, dan perubahan UU KPK.

“Perundang-undangan di Indonesia hampir semua sudah diperbaharui, kecuali korupsi,” kata Trisno Raharjo.

Tetapi, kata Trisno, terjadi perubahan pada undang-undang kelembagaan, yaitu UU KPK. “Hal ini menjadi persoalan karena perkembangan tentang konfensi internasional belum tercakup dan diatur dalam undang-undang yang mengatur tentang korupsi,” papar Trisno Raharjo.

Kata Trisno, hal ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang kita lalai, mana yang harusnya dilakukan perbaikan terlebih dahulu.

“Sehingga, ketika UU KPK diperbaharui terjadi penolakan oleh publik karena seharusnya jika dilakukan pembaharuan itu ada pada undang-undang substantifnya, yaitu tentang korupsinya bukan tentang persoalan internal pengurusnya,” kata Trisno Raharjo.

Namun, kata Trisno, yang substantif itu justru belum diperbaharui. “Tak hanya itu, permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia juga terjadi dalam penanganan kasus korupsi,” ujarnya.

Padahal, tindak pidana korupsi itu juga termasuk dalam kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. “Sehingga penanganan terhadap kasus korupsi juga harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa, tidak bisa ditangani dengan cara yang biasa,” katanya.

Namun pada kenyataannya, dari tiga macam kejahatan extra ordinary itu: korupsi, narkoba dan terorisme, yang kemudian prosesnya menunjukkan extra ordinary yang kuat itu hanya pada narkotika dan terorisme. “Terutama dalam penangkapannya,” tandas Trisno Raharjo.

Bagi Trisno, Narkotika itu bisa sampai lebih dari 3 hari, terorisme bisa diperpanjang sampai 21 hari, tetapi korupsi tetap 1 hari. “Ini menunjukan ada yang keliru dalam memandang bahwa ini merupakan extra ordinary crime,” terang Trisno.

Kemudian, tentang penyadapan, korupsi selalu dipersulit dan dipermasalahkan penyadapannya. “Tapi tidak dengan narkotika dan terorisme,” imbuhnya.

Beberapa keputusan Mahkamah Agung saat ini, menurut Trisno, juga banyak memberikan pembebasan bersyarat kepada narapidana dengan alasan kemanusiaan.

Pada dasarnya, prinsipnya akan menerima jika hal itu dilakukan dengan prosedur yang baik dan benar. “Namun asal jangan sampai terjadi diskriminasi,” paparnya.

Seperti kita ketahui, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada salah satu narapidana dengan alasan kemanusiaan. “Namun ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang sudah sangat tua tidak diberikan amnesti yang sama,” terangnya.

Ini kemudian menjadi polemik. Jika ustadz Abu Bakar Ba’asyir tetap tidak terlalu mementingkan Pancasila sampai kapanpun tidak akan pernah dibebaskan. Maka, perlu dipikirkan ustadz Abu Bakar Ba’asyir tidak melakukan tindakan kekerasan dalam memperjuangkan apa yang menurutnya benar.

Penjelasan:

: )