Pahlawan Kecil

Posted on

Iwan, Herman, Nuri, dan Totok asyik berenang di bendungan air dekat palang kereta api. Mereka bersembur-semburan dan menyelam-nyelam sampai merah matanya. Ketika lonceng berdentang, tanda sebentar lagi kereta api akan lewat. Bunyinya itu hanya didengar sepintas lalu oleh keempat anak itu. Tidak biasanya sikap Pak Sarpan, penjaga palang jalan itu. Jika lonceng itu berbunyi, orang yang sudah tua itu akan segera keluar dari gardunya untuk menghentikan arus kendaraan umum yang melintasi jalan rel. Hal itu sudah dikerjakannya bertahun-tahun. Setiap hari, dengan jarak waktu dan urutan yang tetap, sepuluh sampai dua belas kali ia bolak-balik mengatur lalu lintas. Tetapi pada hari itu, setelah beberapa lama lonceng itu berbunyi Pak Sarpan tidak muncul muncul juga. Padahal, kereta api yang hendak lewat sudah kedengaran derunya dari kejauhan. Anakanak yang tengah bermain tiba-tiba tertegun melihat kejanggalan itu. “Kenapa Pak Sarpan belum juga menutup palang kereta api?” tanya Iwan. “Barangkali dia tertidur,” jawab Herman. “Tidak mungkin,” sahut Nuri, “Pak Sarpan tidak pernah ketiduran pada saat menjalankan tugasnya.” “Padahal, kereta api sudah dekat,” kata Totok. Kereta api yang makin lama makin mendekat itu adalah kereta api ekspres. Lalu lintas di jalan raya yang memotong rel kereta itu ramai sekali waktu itu. “Kalau begitu, kita harus berusaha mencegah terjadinya malapetaka,“ kata Herman. Terburuburu, ia pun keluar dari dalam air sambil menyambar celana dan bajunya. Dikenakannya pakaiannya lalu berlari cepat-cepat ke arahpalang kereta api. Teman-temannya segera menyusulnya dan dengan lambaian tangan mereka mengisyaratkan niatnya hendak menutup jalan bagi kendaraan yang akan lewat. Tanpa menghiraukan bunyi klakson yang bersahut-sahutan keempat anak itu menutup palang jalan. Tindakan anak-anak itu menyebabkan kemarahan pengemudi kendaraan yang merasa dipermainkan. Beberapa pengemudi truk bahkan menyumpahi anak-anak itu. Ada juga penumpang yang turun karena ingin tahu lebih banyak. Sebelum keributan itu reda, terdengar suara gemuruh dan kereta api ekspres lewat dengan cepatnya. Barulah orang-orang sadar bahwa mereka nyaris mati tergilas. Berapa banyak korban yang mungkin jatuh andaikata anak-anak itu tidak cepat-cepat menutup palang kereta api itu. Setelah jalan dibuka kembali, anak-anak itu bergegas lari ke gardu Pak Sarpan karena ingin tahu apa yang terjadi dengan penjaga palang yang sudah berumur itu. Alangkah kagetnya mereka ketika mendapati Pak Sarpan terkapar lemas di lantai. Ia kedengaran merintih kesakitan. “Cepat panggil dokter,” kata Iwan kepada temannya. “Jangan, jangan. Tidak usah memanggil dokter,” bantah Pak Sarpan. “Aku hanya masuk angin. Panggil saja Pak Bayan supaya ia menggantikan aku di sini.” “Masakan hanya masuk angin. Badan Pak Sarpan kelihatan begitu lemas. Tadi hampir saja terjadi kecelakaan karena palang jalan yang tidak tertutup. Untung, kami tidak terlambat.” “Jadi, kalian yang menutup palang itu?” “Ya, dan Pak Sarpan sekarang harus cepat mendapat pertolongan dokter,” kata Totok. “Memang aku tahu bahwa kereta api akan lewat, tetapi ketika lonceng berbunyi dan aku hendak menutup jalan, aku tidak kuat bangun,” katanya dengan tersendat-sendat. “Aku, … aku… tak mampu membayar ongkos dokter. Makanya biar, tak usah aja.” “Coba, saya panggil paman saya saja. Dia mantri juru rawat di rumah sakit,” kata Herman. Ia lalu keluar mencari sepeda pada tetangganya untuk menjemput pamannya itu. Tidak berapa lama, Herman pun datang membonceng sepeda beserta Pak Darman, pamannya, sambil mengempit tas alat kesehatannya. Pak Darman langsung memeriksa Pak Sarpan dengan saksama. Dahinya berkerutkerut melihat si sakit itu. Anak-anak dengan hati cemas menantikan hasil pemeriksaannya. Dalam batin mereka berdoa agar Pak Sarpan dapat tertolong. “Untung saja kalian cepat-cepat memanggil aku. Kalau tidak, bagaimana jadinya. Pak Sarpan sakit parah. Rupa-rupanya sudah lama ditahannya saja sampai pada puncak penderitaannya,” kata Pak Darman setelah memeriksa Pak Sarpan. Kemudian anak-anak itu pun menerima pesan dari Pak Darman tentang apa yang harus dilakukan oleh mereka sementara ia mencari pertolongan. “Kalian tinggal di sini dulu. Aku akan mengambil mobil ambulans ke rumah sakit. Pak Sarpan harus dirawat di rumah sakit,” katanya. “Herman turut dengan mobil kami nanti untuk melaporkan kejadian ini kepada kepala stasiun.”

Tolong carikan makna tersirat dalam judul teks tersebut

Pahlawan Kecil

Jawaban:

Aku, … aku… tak mampu membayar ongkos dokter. Makanya biar, tak usah aja.” “Coba, saya panggil paman saya saja. Dia mantri juru rawat di rumah sakit,” kata Herman. Ia lalu keluar mencari sepeda pada tetangganya untuk menjemput pamannya itu. Tidak berapa lama, Herman pun datang membonceng sepeda beserta Pak Darman, pamannya, sambil mengempit tas alat kesehatannya. Pak Darman langsung memeriksa Pak Sarpan dengan saksama. Dahinya berkerutkerut melihat si sakit itu. Anak-anak dengan hati cemas menantikan hasil pemeriksaannya. Dalam batin mereka berdoa agar Pak Sarpan dapat tertolong. “Untung saja kalian cepat-cepat memanggil aku. Kalau tidak, bagaimana jadinya. Pak Sarpan sakit parah. Rupa-rupanya sudah lama ditahannya saja sampai pada puncak penderitaannya,” kata Pak Darman setelah memeriksa Pak Sarpan.

Penjelasan:

karena jika tidak segera diobati, maka kemungkinan besar Pak Sarpan akan meninggal dunia jika tidak tertolong