Tolong buat satu contoh laporan teknis
PERAN BEA DAN CUKAI DALAM MENCEGAH ILLEGAL LOGGING
Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang terkenal dengan kekayaan alamnya. Begitu banyak sumber alam hayati yang bias dieksplorasi. Seiring dengan keadaan alam yang melimpah tersebut, terdapat oknum-oknum yang mencoba memanfaatkan kekayaan alam tanpa memperhitungkan kelestarian sumber daya yang ada. Tergiur dengan harga pasar di luar negeri yang tinggi sehingga banyak yang berusaha menjual hasil alam hayati Indonesia ke luar negeri baik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (secara legal) maupun tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (secara illegal). Perbuatan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab adalah praktek illegal logging atau pembalakan liar. Praktek ini tentunya sangat mengancam kelestarian hutan di Indonesia yang menjadi paru-paru dunia. Berbagai instansi pemerintahan juga saling bekerja sama untuk menanggulangi dan mencegah illegal logging termasuk yang dilakuan Kementrian Keuangan. Hasil dari pembalakan liar akan diekspor ke luar negeri, kegiatan ekspor tersebut harus melalui pengawasan Bea dan Cukai.
Penegakan hukum Kepabeanan dan Cukai adalah suatu tindakan untuk mempertahankan agar ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai dipatuhi yang meliputi intelijen, penindakan dan penyidikan. Yang menjadi salah satu patokan utama pada Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai adalah pengawasan dilaksanakannya Undang-Undang Kepabeanan yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. Dan pada Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Illegal Logging, menginstruksikan kepada menteri keuangan untuk meningkatkat pengawasan dan penindakan terhadap lalu linas kayu di daerah pabean.
Peran Bea Cukai dan Tindak Pidana Pelaku
Peran Bea Cukai juga menjalankan peraturan titipan dari instansi lain seperti Perdagangan dan Kehutanan terkait ekspor kayu log dan kayu hasil pembabakan liar. Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke – 18 UU No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidannya berat.
Ada 3 (tiga) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat di lihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang di atur dalam Pasa 50 UU No. 41 / 1999 tentang Kehutanan. Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”.